Yogyakarta, Panji Umat — Pada tahun 1962 Muhammadiyah menyusun konsep Kepribadian Muhammadiyah. Terdapat sepuluh butir Kepribadian Muhammadiyah yang salah satunya menyebutkan bahwa Muhammadiyah bersifat keagamaan dan kemasyarakatan. Butir ini cukup untuk menegaskan bahwa Muhammadiyah bukanlah kendaraan politik praktis.
Dalam Pengajian Ramadan 1445 H Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah pada Sabtu (23/03), Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa asal usul lahirnya dokumen Kepribadian Muhammadiyah tidak lain karena Muhammadiyah pernah terjun langsung dalam arena politik praktis. Waktu itu, Muhammadiyah menjadi anggota istimewa dari Partai Masyumi.
“Muhammadiyah itu dulu menjadi anggota istimewa Masyumi. Masyumi adalah partai yang bersih, tapi tentu masih ada kekurangannya,” terang Haedar.
Haedar mengungkapkan mengapa pada tahun 1947 Sarekat Islam memilih keluar dari Partai Masyumi dan mendirikan Partai Sarekat Islam. Padahal, Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang direpresentasikan oleh tokoh-tokohnya seperti HOS Cokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Dahlan begitu dekat. Menurut Haedar, keluarnya Sarekat Islam dari Masyumi bukan semata-mata ideologis, melainkan karena terjadi dinamika dalam politik.
Pada tahun 1952, NU sebagai salah satu anggota istimewa Masyumi juga memilih keluar. Meski tanpa NU, kiprah Masyumi jalan terus. Kepergian NU membuat Muhammadiyah tampil menjadi kekuatan utama dan bahkan menjadi tulang punggung Masyumi. Pada saat itu Muhammadiyah identik sebagai gerakan politik ketimbang gerakan sosial keagamaan.
“Di saat itu akhirnya Muhammadiyah terbawa juga, akhirnya Kiai Fakih Usman yang juga Ketua Muhammadiyah dengan tim merumuskan Kepribadian Muhammadiyah,” ungkap Haedar.
Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah sosial-keagamaan yang hampir sebagian besar anggotanya terlibat dalam aktivitas Partai Masyumi. Lebih-lebih pada waktu itu sempat populer adagium di kalangan warga persyarikatan bahwa “Masyumi tempat berjuang, Muhammadiyah tempat beramal”.
Pada tahun 1959 pemerintahan Soekarno membubarkan Partai Masyumi karena beberapa tokohnya dianggap terlibat dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958. Anggota Muhammadiyah yang sempat aktif di Masyumi membawa alam pikiran politis dalam memimpin Muhammadiyah.
Setelah belajar mengenyam pengalaman politik dari Masyumi, Muhammadiyah menegaskan posisinya sebagai gerakan sosial-keagamaan yang bersifat non-politik. Hal ini diperjelas pada tahun 1962 Muhammadiyah menyusun konsep Kepribadian Muhammadiyah yang menegaskan posisinya sebagai gerakan yang bersifat keagamaan dan kemasyarakatan