Jakarta, Panji Umat – Era reformasi sudah berlangsung 26 tahun. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah reformasi telah membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan ? Wakil Ketua MUI, BuyaAnwar Abbas pun memberikan tanggapannya lewat pesan tertulis kepada media Panji Umat pada (1/4/2024).
“Kalau dahulu masyarakat dan mahasiswa turun ke jalan mengajukan beberapa tuntutan dimana salah satunya yaitu berantas praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) maka sekarang pertanyaannya apakah bangsa kita telah berhasil memberantas ketiga praktek yang tidak terpuji tersebut ?” tanya, Buya Anwar Abbas.
Data dan fakta yang ada menurut Buya bahwa kita telah gagal mengenyahkannya. Seorang Mahfud MD ketika menjabat sebagai Menko Polhukam mengatakan bahwa tindak korupsi di era reformasi jauh lebih hebat dan lebih dahsyat di banding zaman orde baru.
Kalau di zaman orde baru korupsi kata Mahfud MD hanya tampak di lembaga eksekutif saja tapi sekarang sudah merebak ke lembaga legislatif dan yudikatif. Di masa reformasi kita melihat ada beberapa kasus korupsi besar yang pernah terjadi seperti yang dilakukan oleh Surya Darmadi dengan kerugian negara sekitar Rp 78 triliun, lalu muncul kasus Asabri sekitar Rp 23 triliun, Jiwasraya dengan kerugian negara sekitar Rp 17 triliun.
“Dari ketiga kasus tersebut kerugian negara sudah mencapai sekitar Rp 118 triliun. Angka tersebut jika disatukan dengan kerugian yang diakibatkan oleh penyelewengan dana BLBI (Rp 138 triliun) maka total kerugian negara berjumlah sekitar Rp.256 triliun. Sebuah angka yang sangat-sangat besar dan fantastis tentunya,” ujar Waketum MUI yang juga Ketua PP Muhammadiyah itu.
Namun dalam beberapa minggu terakhir kita dikejutkan lagi oleh praktek korupsi yang benar-benar super mega yang terjadi di PT Timah tbk yang telah menimbulkan kerugian negara sekitar Rp.271 triliun. Sebuah jumlah yang jauh lebih besar dari empat kasus korupsi sebelumnya. Pertanyaannya, mengapa hal ini masih bisa terjadi ?
Menurut Buya Anwar Abbas, yang pertama karena akhlak dan morality dari para pelakunya memang telah sangat-sangat buruk dan jeblok.
“Kedua karena sistim pengawasan yang masih sangat lemah dan Ketiga karena adanya peluang bagi para pelaku untuk berkolusi dan mengembangkan sikap nepotisme bagi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya bagi dirinya dan kroni-kroninya,” tandasnya.
Keempat lemahnya penegakan hukum dan Kelima, rendahnya hukuman yang sudah pernah diberikan kepada sang koruptor. Untuk itu kedepan bagi bisanya kita menghapus atau meminimalisir praktek korupsi, kolusi dan nepotisme maka teori NK (Niat dan Kesempatan) menjadi sangat relevan karena memang faktor niat dan kesempatan inilah yang telah menjadi faktor utama bagi terjadinya praktek KKN tersebut.
“Untuk itu bagi mencegah terjadinya praktek moral hazard tersebut, kita harus bisa melakukan beberapa hal : Pertama, meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dari warga bangsa sehingga mereka betul-betul tahu dan menghayati bagaimana buruk dan mengerikannya hukuman dari tindakan tercela yang mereka lakukan nanti di hari akhir,” ujarnya lagi.
Kedua, kita harus bisa membuat dan membangun sebuah sistim pengawasan yang canggih sehingga akan sangat sulit bagi para pihak untuk melakukan praktek haram dan illegal serta tidak terpuji tersebut.
Ketiga, sistim hukum yang ada harus bisa membuat yang bersangkutan untuk bisa dimiskinkan dan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya berupa hukuman mati agar hal demikian bisa menimbulkan ketakutan bagi yang lain untuk melakukan tindakan yang sangat merugikan bangsa dan negara itu.
“Tanpa adanya hal-hal demikian maka praktek KKN di indonesia tentu tidak akan bisa diberantas sehingga nasib bangsa dan negara kita jelas akan sangat terganggu oleh ulah perbuatan mereka dan kita tentu saja tidak mau hal itu terjadi pada bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai ini, ” pungkasnya.