Yogyakarta, Panji Umat– Setelah pelaksanaan Salat Idulfitri, umat muslim Indonesia merayakan kegembiraan dengan berbagai ekspresi salah satunya dengan bersilaturahmi atau yang umum disebut dengan halal bihalal atau syawalan, atau istilah yang lebih dahulu ada di Jawa yaitu pisowanan.
Meski tidak melekat sebagai ibadah khusus pada awal Bulan Syawal, terkadang sampai akhir bulan, tapi agenda silaturahmi pasca Idulfitri tetap dilakukan baik secara individu dengan cara mendatangi rumah sanak keluarga, tetangga, sampai keluarga yang jauh dari rumah, pun dengan silaturahim berkelompok dikemas pengajian atau makan-makan.
Lebih khusus di Jawa, Pemerhati Sejarah Muhammadiyah yang juga Anggota Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi merujuk Ahmad Baso menyebut, tradisi keagamaan silaturahim yang dikemas secara formal telah ada sejak 1700 an di Daerah Cirebon.
Pada masa selanjutnya, tradisi ini masih terus berlangsung dan mengalami pemodernan tata cara. Misalnya, ditemukan rubrik khusus dalam Soeara Moehammadijah No. 5 Tahun 1924 yang diperuntukkan bagi pembaca yang ingin menyampaikan ucapan permohonan maaf sekaligus menyambung silaturahmi antar anggota melalui media massa. Di situ menggunakan istilah Alal Bahalal.
Ghifari menyebut Suara Muhammadiyah (SM) memodernisasi cara umat Islam khususnya warga Muhammadiyah dalam bersilaturahmi. “Kita sebenarnya memulai tapi pada aspek sisi kemajuan dan modernitas, yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah adalah seiring dengan berkembangnya literasi melalui pers islam, yakni Suara Muhammadiyah sebagai pers tertua”.
Pada 1924 menjadi tonggak sejarah yang perlu diingat, sebab muncul cara baru seorang muslim dalam menyampaikan salam, permohonan maaf, dan menjalin silaturahmi melalui platform media massa modern yang saat itu Majalah SM. Dalam konteks awal abad 20, majalah merupakan media massa yang sangat modern di tengah kolonialisme.
“Kontribusi besar Muhammadiyah pada tradisi Alal Bihalal disajikan dalam platform majalah, yang disitu menunjukkan modernitas dan kemajuan Muhammadiyah. Bahwa warga Muhammadiyah itu adalah kelompok yang terpelajar – intelektual, karena dekat dengan literasi dengan buku dan ilmu pengetahuan,” kata Ghifari di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.
Ketika melakukan pencarian literasi, Ghifari menyebut tradisi halal bihalal merupakan genuin dari Nusantara, khususnya dari Jawa. Sebab sejauh ini dia belum menemukan literatur yang menunjukkan tradisi ini di luar Jawa. Namun saat ini tradisi halal bihalal telah diserap dan dilakukan tidak hanya di Jawa, tapi hampir di seluruh Indonesia.
Menurut Ghifari, tidak hanya di SM pada 1924, modernisasi tradisi halal bihalal juga ditunjukkan dengan adanya Brosur Lebaran dari Muhammadiyah Kotagede. Hadirnya brosur itu menurut Ghifari juga mewadahi model silaturahmi secara berkemajuan. Selain itu, hadirnya Brosur Lebaran juga menunjukkan tingginya literasi warga Muhammadiyah.
Halal Bihalal, Agitasi Politik, dan Efisiensi Waktu
Pada 1930 beberapa instansi di Indonesia telah banyak yang melaksanakan tradisi halal bihalal. Di koran-koran Berbahasa Belanda telah memuat beberapa kegiatan halal bihalal yang telah dilakukan sebelum 1948. Misalnya di Surat Kabar “Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch Indië” tahun 1939 mengabarkan bahwa perkumpulan perempuan Muhammadiyah – ‘Aisyiyah menggelar rapat lebaran di Gedung Sobokarti, di Kota Semarang.
Dalam
TOKOH SEJARAH MEDIA OPINI HUKUM ISLAM KHUTBAH KABAR
Home Berita
Muhammadiyah Pelopor Modernisasi Tradisi Halal Bihalal
by aanardianto 3 hari ago
Muhammadiyah Pelopor Modernisasi Tradisi Halal Bihalal
MUHAMMADIYAH.OR.ID,
Yogyakarta, Panji Umat – Setelah pelaksanaan Salat Idulfitri, umat muslim Indonesia merayakan kegembiraan dengan berbagai ekspresi salah satunya dengan bersilaturahmi atau yang umum disebut dengan halal bihalal atau syawalan, atau istilah yang lebih dahulu ada di Jawa yaitu pisowanan.
Meski tidak melekat sebagai ibadah khusus pada awal Bulan Syawal, terkadang sampai akhir bulan, tapi agenda silaturahmi pasca Idulfitri tetap dilakukan baik secara individu dengan cara mendatangi rumah sanak keluarga, tetangga, sampai keluarga yang jauh dari rumah, pun dengan silaturahim berkelompok dikemas pengajian atau makan-makan.
Lebih khusus di Jawa, Pemerhati Sejarah Muhammadiyah yang juga Anggota Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi merujuk Ahmad Baso menyebut, tradisi keagamaan silaturahim yang dikemas secara formal telah ada sejak 1700 an di Daerah Cirebon.
Pada masa selanjutnya, tradisi ini masih terus berlangsung dan mengalami pemodernan tata cara. Misalnya, ditemukan rubrik khusus dalam Soeara Moehammadijah No. 5 Tahun 1924 yang diperuntukkan bagi pembaca yang ingin menyampaikan ucapan permohonan maaf sekaligus menyambung silaturahmi antar anggota melalui media massa. Di situ menggunakan istilah Alal Bahalal.
Ghifari menyebut Suara Muhammadiyah (SM) memodernisasi cara umat Islam khususnya warga Muhammadiyah dalam bersilaturahmi. “Kita sebenarnya memulai tapi pada aspek sisi kemajuan dan modernitas, yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah adalah seiring dengan berkembangnya literasi melalui pers islam, yakni Suara Muhammadiyah sebagai pers tertua”.
Pada 1924 menjadi tonggak sejarah yang perlu diingat, sebab muncul cara baru seorang muslim dalam menyampaikan salam, permohonan maaf, dan menjalin silaturahmi melalui platform media massa modern yang saat itu Majalah SM. Dalam konteks awal abad 20, majalah merupakan media massa yang sangat modern di tengah kolonialisme.
“Kontribusi besar Muhammadiyah pada tradisi Alal Bihalal disajikan dalam platform majalah, yang disitu menunjukkan modernitas dan kemajuan Muhammadiyah. Bahwa warga Muhammadiyah itu adalah kelompok yang terpelajar – intelektual, karena dekat dengan literasi dengan buku dan ilmu pengetahuan,” kata Ghifari di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.
Ketika melakukan pencarian literasi, Ghifari menyebut tradisi halal bihalal merupakan genuin dari Nusantara, khususnya dari Jawa. Sebab sejauh ini dia belum menemukan literatur yang menunjukkan tradisi ini di luar Jawa. Namun saat ini tradisi halal bihalal telah diserap dan dilakukan tidak hanya di Jawa, tapi hampir di seluruh Indonesia.
Menurut Ghifari, tidak hanya di SM pada 1924, modernisasi tradisi halal bihalal juga ditunjukkan dengan adanya Brosur Lebaran dari Muhammadiyah Kotagede. Hadirnya brosur itu menurut Ghifari juga mewadahi model silaturahmi secara berkemajuan. Selain itu, hadirnya Brosur Lebaran juga menunjukkan tingginya literasi warga Muhammadiyah.
Halal Bihalal, Agitasi Politik, dan Efisiensi Waktu
Pada 1930 beberapa instansi di Indonesia telah banyak yang melaksanakan tradisi halal bihalal. Di koran-koran Berbahasa Belanda telah memuat beberapa kegiatan halal bihalal yang telah dilakukan sebelum 1948. Misalnya di Surat Kabar “Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch Indië” tahun 1939 mengabarkan bahwa perkumpulan perempuan Muhammadiyah – ‘Aisyiyah menggelar rapat lebaran di Gedung Sobokarti, di Kota Semarang.
Dalam surat kabar itu bahkan disebutkan bahwa pertemuan halal bihalal yang dialih bahasakan ke Bahasa Belanda sebagai Lebaraanbijeenkomst yang dalam Bahasa Indonesia sebagai pertemuan atau rapat lebaran akan diisi oleh empat pembicara perempuan yang menyampaikan tentang sejarah dan keutamaan Nabi Muhammad SAW.
Selain dilakukan oleh ‘Aisyiyah, di beberapa surat kabar Bahasa Belanda pada 1930 an juga disebutkan telah ada beberapa instansi pemerintahan termasuk juga kepolisian menyelenggarakan tradisi halal bihalal. “Artinya itu sudah menjadi budaya organisasi yang saya lihat,” tutur Ghifari yang juga Dosen Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Penggunaan istilah Lebaraanbijeenkomst, meskipun di beberapa literatur sudah menyebut halal bihalal ada di koran Belanda sudah ada yang menyebut itu. Karena mungkin lebih populer di akhir 1930 an, tapi di awal 1930 an masih menggunakan Lebaraanbijeenkomst,” ungkapnya.
Dia memandang, halal bihalal sebagai tradisi panjang yang kemudian dihadirkan dalam berbagai bentuk dan ekspresi umat Islam di Indonesia pasca Idulfitri. Dan Majalah SM pada 1924 urun andil memodernisasi tradisi halal bihalal melalui pemanfaatan platform media massa yang sangat modern saat itu – majalah.
Pelaksanaan tradisi halal bihalal tidak selalu berjalan mulus tanpa hambatan, seperti yang terjadi pada 1933 di Surat Kabar Bahasa Belanda “Het Nieuws Den Dag Voor Nederlandsch Indië” dibubarkan oleh Polisi karena dianggap berbau politik yang diduga membahas isu Indonesia merdeka, penjajahan dan sebagainya, serta kebetulan acara itu juga dihadiri anak-anak.
Ghifari menyebut, sikap tegas yang dilakukan oleh kepolisian mengikuti saran dari Snouck Hurgronje. Penasehat Belanda itu menyebutkan, jika umat Islam beribadah dengan tulus atau mempraktikkan agamanya tanpa ada unsur politik tidak boleh diusik, akan tetapi jika umat Islam Indonesia sudah berpolitik itu harus ditindak tegas atau ditumpas.
Pelaksanaan halal bihalal menurut Ghifari juga untuk mengefisiensikan waktu dalam perayaan lebaran. Dia mencontohkan praktik halal bihalal di Muhammadiyah Kotagede Yogyakarta, dan beberapa ranting dan cabang yang aktif menyelenggarakan halal bihalal. Oleh karena itu, tradisi halal bihalal ini jauh dari kata bid’ah. Silaturahmi tidak lagi dilakukan dengan mengunjungi rumah ke rumah.
Sementara itu terkait dengan sajian acara sejak 1930 an, acara halal bihalal biasanya diisi dengan ceramah keagamaan termasuk menjelaskan sejarah Nabi Muhammad SAW, selain itu di halal bihalal yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau organisasi lain pasca kemerdekaan sajian acaranya ditambah dengan beberapa hiburan seperti Dagelan Mataram.
“Penggunaan istilah Lebaraanbijeenkomst, meskipun di beberapa literatur sudah menyebut halal bihalal ada di koran Belanda sudah ada yang menyebut itu. Karena mungkin lebih populer di akhir 1930 an, tapi di awal 1930 an masih menggunakan Lebaraanbijeenkomst,” ungkapnya.
Dia memandang, halal bihalal sebagai tradisi panjang yang kemudian dihadirkan dalam berbagai bentuk dan ekspresi umat Islam di Indonesia pasca Idulfitri. Dan Majalah SM pada 1924 urun andil memodernisasi tradisi halal bihalal melalui pemanfaatan platform media massa yang sangat modern saat itu – majalah.
Pelaksanaan tradisi halal bihalal tidak selalu berjalan mulus tanpa hambatan, seperti yang terjadi pada 1933 di Surat Kabar Bahasa Belanda “Het Nieuws Den Dag Voor Nederlandsch Indië” dibubarkan oleh Polisi karena dianggap berbau politik yang diduga membahas isu Indonesia merdeka, penjajahan dan sebagainya, serta kebetulan acara itu juga dihadiri anak-anak.
Ghifari menyebut, sikap tegas yang dilakukan oleh kepolisian mengikuti saran dari Snouck Hurgronje. Penasehat Belanda itu menyebutkan, jika umat Islam beribadah dengan tulus atau mempraktikkan agamanya tanpa ada unsur politik tidak boleh diusik, akan tetapi jika umat Islam Indonesia sudah berpolitik itu harus ditindak tegas atau ditumpas.
Pelaksanaan halal bihalal menurut Ghifari juga untuk mengefisiensikan waktu dalam perayaan lebaran. Dia mencontohkan praktik halal bihalal di Muhammadiyah Kotagede Yogyakarta, dan beberapa ranting dan cabang yang aktif menyelenggarakan halal bihalal. Oleh karena itu, tradisi halal bihalal ini jauh dari kata bid’ah. Silaturahmi tidak lagi dilakukan dengan mengunjungi rumah ke rumah.
Sementara itu terkait dengan sajian acara sejak 1930 an, acara halal bihalal biasanya diisi dengan ceramah keagamaan termasuk menjelaskan sejarah Nabi Muhammad SAW, selain itu di halal bihalal yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau organisasi lain pasca kemerdekaan sajian acaranya ditambah dengan beberapa hiburan seperti Dagelan Mataram.