Jakarta, Panji Umat – Kita senang mendengar pertumbuhan ekonomi di Maluku dan Papua seperti disampaikan Plt Kepala BPS pada kuartal I-2024 tumbuh tinggi mencapai 12,15%. Padahal, kuartal I-2023 hanya tumbuh 2,09%. Tetapi yang perlu diketahui pertumbuhan ekonomi yang sebesar itu di daerah tersebut adalah karena di dorong terutama oleh aktivitas pertambangan dan penggalian.
Hal diatas itu disampaikan oleh Buya Anwar Abbas selaku Waketum MUI saat menulis tentang kondisi saat ini dan disampaikan ke Redaksi Panji Umat. Jadi Buya Anwar Abbas menambahkan bahwa boleh dikatakan yang banyak mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi yang dua digit tersebut adalah pengusaha tambang dan penggalian. Sementara rakyat banyak di propinsi tersebut bisa dikatakan belum menikmati manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut.
“Kalau mempergunakan bahasa orang disana ketika saya berkunjung ke daerah tersebut kami ini tidak menikmati hasil dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut. Kalau dapat kata mereka kami ini paling-paling dapat remah-remahnya saja,” tulis Buya pada Selasa, (7/5/2024).
Kebenaran dari pernyataan mereka tersebut menurut Buya tentu bisa kita uji dan lihat dari keadaan ekonomi dari masyakarat Maluku Utara dan Papua itu sendiri dimana kedua propinsi tersebut masih termasuk ke dalam propinsi termiskin di indonesia.
“Hal ini tentu saja sangat tidak kita inginkan apalagi kalau kita lihat dari perspektif amanat konstitusi dimana di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jelas-jelas dikatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatrakyat,” tandas Buya Anwar.
Pertanyaannya dengan pertumbuhan ekonomi sebesar itu masih menurut Buya, apakah sebesar-besar kemakmuran rakyat sudah terwujud atau belum, minimal di propinsi dimana perusahaan-perusahaan tambang dan penggalian itu berada.
“Rasanya apa yang terjadi masih jauh panggang dari api .Oleh karena itu kita meminta kepada pihak pemerintah agar tidak hanya memikirkan dan mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi saja tapi bagaimana kita juga bisa menciptakan pemerataan sehingga yang senang dan puas tidak hanya pengusaha tambang dan penggalian saja tapi juga masyarakat luasluas,” tegasnya lagi.
Inilah yang kurang terperhatikan apalagi di perusahaan-perusahaan tambang milik Tiongkok dimana para pekerjanya sangat banyak mereka bawa dari negara mereka sendiri padahal di daerah pertambangan tersebut dan juga di daerah-daerah lain di negeri ini sangat banyak putera-putera bangsa yang menganggur dan tidak punya pekerjaan.
“Herannya pemerintah dalam hal ini terkesan kurang berani menghadapi para investor dari tiongkok tersebut mungkin tujuannya adalah agar sang investor tidak lari dan tidak terusik,” urainya lagi.
Hal ini tentu tidak bisa kita biarkan apalagi di dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2 sudah jelas-jelas dinyatakan bahwa tiap- tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan bahkan di dalam Pasal 28D Ayat 2 dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
“Jadi pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah tersebut terkesan belum sesuai dengan jiwa dan semangat dari konstitusi karena yag mengemuka adalah dimensi pertumbuhan ekonominya saja sementara dimensi pemerataannya masih terabaikanterabaikan,” pungkasnya.