KhazanahNusantara

Soal Penarikan Dana Muhammadiyah, Sekjen MUI : Momentum Penguatan Tata Kelola Sektor Keuangan Syariah

Jakarta, Panji Umat – Beberapa hari terakhir ini telah menjadi pemberitaan di berbagai media bahwa Muhammadiyah tengah melakukan konsolidasi keuangan. Memo internal yang disampaikan PP Muhammadiyah kepada seluruh Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) adalah mengalihkan dana simpanan yang ada dari Bank Syariah Indonesia (BSI) ke beberapa Bank Syariah lainnya yang sudah berkerjasama dengan Muhammadiyah.

Publik pun sontak kaget atas langkah yang diambil oleh Ormas Islam tertua dan terbesar di Indonesia itu. Apa yang terjadi sehingga persyarikatan Muhammadiyah mengalihkan uangnya ke Bank-Bank Syariah lainnya ? Sekjen MUI, Buya Amirsyah Tambunan pun memberikan pendapatnya soal ini.

“Bagi saya ini merupakan momentum untuk tata kelola sektor keuangan syariah yang kuat dan sehat. Ini merupakan bagian penting dalam perkembangan ekonomi syariah di Indonesia,” ujarnya.

“Jangan ada pihak-pihak yang menganggap enteng bahkan sepele dengan upaya konsolidasi ini,” ujar Buya Amirsyah kepada wartawan pada Kamis, (6/6/2024).

Masih menurut Buya, dalam sistem ekonomi keuangan syariah telah memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia dalam dua dekade terakhir. Yang pertama itu menurutnya perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah mulai tumbuh sejalan dengan kepercayaan umat kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS).

“Yang kedua adalah ekosistem ekonomi syariah melalui industri halal yang mulai terbangun dan terintegrasi dengan baik sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mengawal perkembangan ekonomi dan keuangan syariah melalui KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah),” tandasnya.

Namun tata kelola secara internal mulai dari Komisaris, Direksi merupakan jajaran tertinggi dalam struktur perusahaan yang merupakan orang-orang yang mewakili kepentingan para pemegang saham belum berjalan sesuai harapan semua pemangku kepentingan.

Karenanya menurut buya Amirsyah, Dewan Direksi memiliki kesadaran dan tanggung jawab kolektif seluruh proses bisnis perusahaan, mulai dari menetapkan strategi bisnis, mengawasi eksekutif manajemen, dan memonitor segala pelaksanaan internal.

Dalam konteks ini perlu memahami hakikat syariah sehingga tata kelola sektor keuangan syariah di Indonesia tedapat dua karakter; pertama, sektor keuangan komersial Islam; kedua, sektor keuangan sosial Islam.

Berdasarkan data yang dirilis oleh PEBS FEB UI (2023) melalui kompilasi berbagai sumber, sektor keuangan komersial Islam mengalami perkembangan cukup pesat. ditandai dengan adanya 13 Bank Umum Syariah (BUS), 20 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 172 Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS), 58 Asuransi Syariah, 40 Lembaga Pembiayaan Syariah, 11 Dana Pensiun Syariah, 608 Saham Syariah, 228 Sukuk, dan 284 Reksadana Syariah.

Sementara sektor keuangan sosial Islam juga mengalami perkembangan pesat dengan 689 organisasi pengelola zakat dan 407 lembaga pengelola wakaf uang.

Dalam konteks ini kontribusi modal sosial (social capital) seperti Muhammadiyah, NU dan Ormas lainnya harus menjadi bagian dari kekuatan untuk meningkatkan market share keuangan komersial syariah hingga kini sebesar 10,89% dan secara khusus sektor perbankan syariah memiliki market share sebesar 7,7% berdasarkan data per Juli 2023.

Adapun peluang dan tantangan yang dihadapi oleh sektor keuangan syariah antara lain :

Sektor keuangan syariah khususnya sektor keuangan komersial Islam masih belum mampu melakukan percepatan ( akselerasi) secara mandiri karena masih terbatasnya komitmen pemerintah dalam pengembangan sektor ini.

Kedua, inovasi produk di sektor keuangan komersial masih minim sehingga belum mampu mendukung percepatan; Ketiga, kualitas dan kuantas sumber Daya Insani (SDI) yang sesuai dengan kompetensi serta mampu beradaptasi dengan perkembangan modernisasi sektor keuangan masih terbatas.

Atas dasar itu tata kelola sektor keuangan syariah harus di optimalkan khususnya peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan Komisaris (pada sektor keuangan komersial Islam (Islamic commercial) sehingga meningkatkan risiko kepatuhan syariah dan risiko reputasi.

Demikian juga infrastuktur pengawasan syariah perlu penguatan DPS dengan dukungan struktur kelembagaan yang mampu mendukung proses peningkatan kepatuhan syariah yang lebih progresif dan inovatif.

“Oleh karena itu, hemat saya perlu rekomendasi kepada regulator dan operator antara lain: pertama, perlunya aftirmatif action dari pemerintah untuk memberikan penguatan regulasi; kedua, penting pengembangan sektor keuangan syariah agar mampu bersaing dengan sektor keuangan konvensional,” tandasnya.

Atas dasar itu pemerintah perlu mengambil kebijakan tentu memberikan afirmasi bagi sektor keuangan syariah agar literasi inklusif dan kontribusi masyarakat bisa lebih meningkat, terutama pelaku usaha UMKM.

Untuk itu pemerintah perlu segera menyelesaikan aturan Shariah Governance bagi pengembangan sektor keuangan komersial Islam (Islamic commercial) dengan tetap memperhatikan masukan dari para pelaku
industri agar implementasinya dapat berlangsung dengan lebih kondusif.

“Begitu juga regulator perlu memberikan peluang inovasi produk dan jasa keuangan syariah agar mampu menjadi pilihan alternatif bagi konsumen dalam menggunakan produk dan jasa di sektor keuangan syariah dari, oleh dan untuk umat,” pungkasnya.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button