Oleh : Dr.Amirsyah Tambunan
Sekjen MUI Pusat
الله ُأَكْبَرُ – الله ُأَكْبَرُ – الله ُأَكْبَرُ –3X الله ُأَكْبَرُ كَبِيْرًا, وَالحَمْدُ لِلّهِ كَثِيْراً, وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاَ, لاَإِلهَ إِلاَّالله ُوَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ, لَاإِلهَ إِلاَّالله ُوَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيّاَهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ المُشْرِكُوْنَ وَلَوْكَرِهَ الكاَفِرُوْنَ وَلَوْكَرِهَ المُناَفِقُوْنَ. الحمدُ لله ربِّ العالمين، الحمدُ لله الذي بنعمته تتمُّ الصالحات، وبعَفوِه تُغفَر الذُّنوب والسيِّئات، وبكرَمِه تُقبَل العَطايا والقُربَات، وبلُطفِه تُستَر العُيُوب والزَّلاَّت، الحمدُ لله الذي أماتَ وأحيا، ومنَع وأعطَى، وأرشَدَ وهدى، وأضحَكَ وأبكى؛ ﴿ وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا)
فَيَآأَيُّهَاالمُؤْمِنُوْنَ وَالمُؤْمِناَتِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ. وَاتَّقُوْا الله َحَقَّ تُقاَتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمٌ فَضِيْلٌ وَعِيْدٌ شَرِيْفٌ جَلِيْلٌ. قَالَ اللهُ تَعَالى فِيْ كِتَابِهِ الكَرِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الَّرجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الَّرحمن الرحيم. إِنّا أَعْطَيْنَاكَ الكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَالأَبْتَرُ.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Waliilahil Hamd
Marilah kita senantiasa bersyukur dan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya. Kita masih diberi nikmat iman dan Islam, kesehatan dan kesempatan untuk melaksanakan berbagai ibadah kepada Allah SWT, termasuk melaksanakan shalat Idul Adha pada pagi hari ini.
Kemudian shalawat serta salam, kita haturkan ke pangkuan baginda Nabi Besar Muhammad SAW, seorang manusia mulia dan nabi terakhir yang dipilih Allah SWT untuk menjadi teladah (uswah) bagi seluruh umat manusia sepanjang masa.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Wa lillahil Hamd. Kaum muslimin jama’ah Iedil Adha rahimakumullah.
Pada pagi hari ini, kaum Muslimin yang menunaikan ibadah haji sebagai tamu Allah SWT, dhuyufurrahman, telah berkumpul melaksanakan wuquf di ‘Arafah dan sedang berada di Mina untuk melaksanakan Jumratul ‘Aqabah. Mereka dengan pakaian ihramnya, berasal dari berbagai belahan dunia. Mereka datang dengan latar belakang bangsa, ras, warna kulit, budaya dan strata sosial yang berbeda satu sama lain. Namun, mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu memenuhi panggilan Allah SWT untuk menjadi tamu-Nya dan bertauhid meng-Esakan Allah SWT semata.
Momentum Idul Adha sangat tinggi nilainya melalui; pertama, penyelenggaraan haji melalui wukuf di Arafah; kedua, penyelenggaraan Qurban. Khusus pencak ibadah haji adalah wuquf di Arafa salah satu perbedaan ibadah haji dan umroh.
الحجُّ عرفةُ , فمن اَدْرَكَ لَيْلَةَ عرفةَ قبلَ طُلُوْعِ الفَجْرِ من ليلةِ جُمَعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّـهُ.
Haji itu adalah Wukuf di ‘Arafah, maka barangsiapa yang mengetahui (wukuf di ‘Arafah) pada malam ‘Arafah, hingga menjelang terbitnya Fajar dari malam berkumpulnya para jama’ah, maka sungguh hajinya telah sempurna.
Bagi umat Islam yang tidak menunaikan haji maka hukumnya Sunnah M
muakkadah melakukan puasa Arafah 9 Dzulhijjah, atau biasa disebut sebagai Hari Arafah.
Salah satu hikmahnya adalah agar umat Islam sadar mengenal dirinya, sadar akan dirinya bahwa manusia pasti kembali kepada asalnya. Karena itu jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah mampu memberikan makna secara tektual dan kontektual kepada nilai-nilai kemanusiaan di mana manusia berada.Tujuannya untuk meningkatkan nilai kemanusiaan berdasarkan keimanan dan kecintaan kepada Allah dan Sunnah Rasul di seluruh di dunia.
Dalam wukuf di arafah terdapat dua hal; pertama, secara tektual berdasarkan dalil yang râjih yakni, puasa Arafah ketika wukuf di Arafah pada hari Arafah” (yauma ‘Arafah) dengan konteks waktu dan tempat. Kaitannya dengan waktu (al-zaman) dan tempat (al-makan).Dari segi waktu, hari Arafah 9 Dzulhijjah 1445 H.Sedang kan dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf di tempat yang dikenal dengan Padang Arafah. Jadi, hari Arafah memiliki dua kontekstualisas; pertama, ‘Arafah 9 Dzulhijjah; kedua, jamaah haji berwukuf di Padang ‘Arafah. (Badruddin Al-‘Ainî, ‘Umdatul Qâri Syarah Shahîh Al-Bukhârî, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah,Al-Mughni, 5/44).
Kedua, secara kontektual yakni definisi syar’i “Hari Arafah” (yauma ‘Arafah) adalah :
يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اْليَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الْحَجِيْجُ بِعَرَفَةَ
“Hari ‘Arafah adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah.” (yauma ‘arafah huwa al-yaumu alladzî yaqifu fîhi al hajîj bi-‘arafah). Sejumlah definisi inilah yang dianggap kuat (râjih) oleh Al-Lajnah Ad-Dâimah Lil Buhûts Al-‘Ilmiyyah wal Iftâ`(Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz bin Baz. Sejalan dengan ini Lajnah Al-Iftâ Al-Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Hisamuddin ‘Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As-Sahim, dan lain-lain. (Abu Muhammad bin Khalil, An-Nûr As-Sâthi’ min Ufuq Al-Thawâli’ fi Tahdîd Yaumi ‘Arafah Idzâ Ikhtalafal Mathâli’, hlm. 3).
Definisi ini dipertegas dengan hadis Rasulullah SAW, anrara lain:
وَعَرَفَةُ يَوْمَ تَعْرِفُوْنَ
“Arafah adalah hari yang kamu kenal.” (‘arafah yauma ta’rifûn). (HR. Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrâ, 5/176, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahîh Al-Jâmi’, no 4224).
Oleh kerena itu secara kotekstual bagi seluruh umat Islam di dunia melakukan puasa Arafah menurut Rasullah SAW; pertama,
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً
Artinya: “Puasa pada hari Arafah dapat menghapuskan dosa selama dua tahun, tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.” (HR Muslim, Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah & Abu Dawud, dari Abu Qatadah
Oleh karena itu kotektuaklisasi berpuasa, jika dilakukan bukan hari wukuf di Padang Arafah, misalnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya, berarti diluar koteks hukum syariah.
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR. Bukhari no 2550; Muslim no 1718).
Atas dasar itu berpuasa Arafah secara berbeda dengan wukuf di Arafah telah berbeda dari patokan untuk menentukan Idul Adha dan rangkaian haji di bulan Dzulhijjah, yaitu rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah). Dengan kata lain, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam berdasarkan prinsip ikhtilâful mathâli’ (perbedaan mathla’).
Secara kontekstual perbedaan ma²thla’ tidak dapat dijadikan patokan (laa ‘ibrata bikhtilâf al mathâli’), karena telah terdapat dalil yang khusus menunjukkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk waktu haji seperti wukuf di Arafah, wajib mengikuti rukyatul hilal Wali Mekkah (Penguasa Mekkah), bukan yang lain. Jika Wali Mekkah (Penguasa Mekkah) tidak berhasil merukyat hilal maka Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah.Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata :
أنَّ أَمِيْرَ مَكَّةَ خَطَبَ ، ثُمَّ قَالَ : عَهِدَ إلَيْنَا رَسُوْلُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤيَةَ ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ ، وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
“Amir (penguasa) Mekah berkhutbah kemudian dia berkata, “Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikan, maka kita akan menjalankan haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam ad-Daraquthni berkata, “Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad Daraquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (2/54) berkata, “Hadis ini shahih”).Berdasarkan hal tersebut maka baik wakuf di arafah maupun puasa arafah memiliki nilai persaamaan guna menyadarkan manusia agar tetap berpusat pada nilai-nilai ketuhanan (teosentris) dan berpisat pada nilai kemanusiaan (antroposentris) seperti kesetaraan, persamaan sehingga prinsip hidup manusia saling menghargai, menghormati. Oleh sebab itu pentingnya kesadaan secara teologis dan antroposentris untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan sehingga dapat mencegah, menghentikan bencana kemanusiaan seperti genosida yang terjadi Gaza, Palestina. Semoga seger terhadi kemerdekan