Panji Umat – Jum’at hari ini, udara pagi menyegarkan hati. Ketika bersiap ke daerah naik Kereta Api “Tut Tut Tut” kegemaran cucu kami, terlintas soal politik penuh ironi. Dunia politik terasa menyesakkan dada, meski sinar sang surya memancarkan asa. Kenapa dunia politik sarat kontradiksi?
Harap tidak salah persepsi. Politik sejatinya baik. Politik ialah sawasa al-‘amr, mengurus sesuatu dengan baik. Politik, menurut Ibn Qayyim adalah jalan “aqrabu ila shalah”, mendekatkan segala kebajikan. Sebaliknya, “ab’adu ‘an al-fasad”, menjauhkan segala kerusakan. Politik kekuasaan, menurut Al-Ghazali, melekat dengan panggilan agama.
Namun, politik di dunia nyata memang tidak lepas dari masalah pelik berduri. Seperti urusan duniawi lainnya, sarat ironi. Ketika politik diperjuangkan dan dipertaruhkan dengan sikap yang mutlak-mutlakan, menang-kalah, suka tidak suka, dan apologia berlebihan. Maka, politik menjadi fanatik-buta, bahkan membabi-buta. Lahirlah sikap radikal-ekstrem dalam berpolitik. Politik serba menghamba pada dirinya. Para aktor politik pun menjelma Rubah, meminjam istilah Machiavelli. Hewan buas memangsa siapa saja.
Mereka yang salah dalam berpolitik, tidak menyadari kesalahan karena dininabobokan segala pesona dunia. Harta, tahta, dan gemerlap duniawi menjadikan aktor-aktor politik lupa diri. Politik penghamba kuasa belaka. Lalu, politik menjadi sarat mafsadat dan menjauh dari maslahat. Sebagian aktor politik di dalam dan luar tembok kekuasaan sama saja. Berperangai ala Rubah. Politik lantas berbuah fitnah, membawa prahara bagi hidup umat manusia.
Mereka yang merasa benar dalam berpolitik, sama saja terjebak pada sikap ghuluw atau ekstrem. Semua orang dan keaadaan salah semua di matanya. Semua orang hina dina. Semua orang jatuh martabat dan marwahnya. Dia tak pernah percaya kepada lian, dirinyalah yang paling terpercaya. Vonis buruk selalu dia gunakan. Dunia dicandra serba gelap gulita, tiada cahaya. Hanya dirinya yang paling benar, bersih, dan bercahaya!
Ihsan —kebaikan yang melintasi— yang ada di qalbu pun seolah tidak menyisakan sikap tawasuth atau jalan tengah dalam dunia politik dan kehidupan yang serba ekstrem. Dunia politik seluruhnya salah, tidak ada celah benarnya. Politik si benar mutlak benarnya dan bahkan seolah serba suci, tanpa ruang salah sebagaimana layaknya perbuatan manusia yang tidak luput dari khilaf. Politik hitam-putih berkacamata kuda.
Pandangan dan sikap hidup diri sendiri pun dimutlakkan. Diri serba benar, lian serba salah. Padahal Imam Syafii mengingatkan, “Pendapatku benar tapi mungkin juga salah. Pendapat orang lain salah tapi mungkin juga benar.”. Sikap dan pendapat tengahan seperti diajarkan Imam nan alim dan cerdas itu, seolah barang langka atau mutiara yang hilang di tengah dunia politik dan kehidupan yang serba diabsolutkan.
Kadang atau tidak jarang berstandar ganda. Kepada lawan atau pihak lain menuntut hidup serba etika tanpa kompromi. Padahal diri sendiri tidak jarang mempraktikkan sikap nir-etika atau luruh etika. Benar dan salah, baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas hanya berlaku sepihak tergantung parameter diri sendiri. Kata pepatah, tiba di mulut dimuntahkan, sampai diperut dikembungkan.
Lebih-lebih dengan simulakra media sosial. Dunia politik dan kehidupan menjadi sarat sumpah serapah. Hujat menghujat. Saling merendahkan martabat. Laqab yakni memberi julukan-julukan yang merendahkan pun menjadi lumrah. Gemar menebar virus curiga dan sakwasangka bahaya. Kusak-kusuk ke sana ke mari memercikkan api panas, yang membakar dada setiap orang. Lahirlah hidup sarat amarah. Bila tak dikendalikan, menjadi benih Mahabarata di Kuru Setra.
Peringatan Allah pun berlalu begitu saja, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Hujarat: 11).
Pada dialektika yang serba ekstrem itu, bisa dipahami kegelisahan Muhammad Abduh hingga dia bersumpah menjauhkan diri dari dunia politik yang anarkistik. “Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik”, kata sang mujadid dari Mesir itu. Abduh memang mengalami benturan keras di dunia politik pada era kekuasaan Khedewi Taufiq. Pada 1882 ia diasingkan selama enam tahun ke Libanon, pasca pemberontakan Urabi.
Dunia politik memang ada menebar sisi kelam. Buya Syafii Maarif menyatakan hal serupa Abduh di Tanwir Denpasar 2002. Politik itu memukul, dakwah merangkul. Politik memecah-belah, dakwah menyatukan. Seorang politisi senior saat itu sempat memprotes pernyataan Buya, karena menurutnya politik tidak seperti itu. Buya Syafii sangat paham, tapi Ketua PP Muhammadiyah periode 2000-2005 itu sengaja mengambil titik ekstrem dari dunia politik partisan.
Gegara politik, orang dan kelompok diposisikan dalam dua kutub ekstrem. Menjadi oposisi-biner. Kawan versus lawan. Siapapun yang dekat dengan lawan, dia sepenuhnya lawan. Jangankan bersekutu, hanya bertemu pun, dialah lawan. Sebaliknya, siapapun yang dekat dan bersama dirinya, semua kawan mesti tak sehaluan. Meminjam metafora penyanyi Gombloh dalam lagu populer “Lepen” di era 1980an. Kalau cinta sudah melekat, “t… kucing, rasa coklat”.
Politik tidak identik dengan mereka yang berada di dunia-dalam kekuasaan. Mereka yang berada di dunia-luar kekuasaan pun, sering berpolitik praktis. Bertopeng perjuangan kebenaran, terlibat politik partisan. Politik pro maupun kontra kekuasaan sama saja perangainya manakala terjangkiti sikap ektrem dan mutlak-mutlakan. Terperangkap pada kebiasaan politicking, mempolitisasi segala hal. Masalah kecil diperbesar, apalagi yang besar. Masalah besar diperingan, apa saja boleh dilakukan. Dunia politik sarat dramatisasi. Agama pun dipolitisasi!
Semoga masih banyak yang tersisa dari dunia politik. Politik sebagai jalan kebajikan sejalan pesan Ibn Qayyim dan Al-Ghazali. Sebaliknya tidak menjadi dunia kelam ala pengalaman buram Syeikh Abduh. Maka, hadirkan ihsan dalam berpolitik dan menyikapi kehidupan. Jiwa baik nan autentik yang melahirkan pandangan dan sikap tengahan dalam menjalani kehidupan. Bukan politik haus kuasa. Bukan pula politik kemarahan sarat aura dendam. Apalagi politik ekstrem berlebihan. Merasa paling benar dan digdaya sendiri di muka bumi.